This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 01 Februari 2014

Agenda Besar Pemberantasan Korupsi di Tahun 2014

INDONESIA adalah negara yang menasbihkan dirinya sebagai negara hukum. Hal ini termaktub jelas dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Konsekuensi logis dari pilihan bangsa Indonesia untuk menjadikan hukum sebagai landasan dalam bernegara adalah setiap tingkah laku yang dilakukan oleh setiap orang di negara ini haruslah taat dan patuh pada hukum yang berlaku.

Konsekuensi dari Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum tidak hanya berlaku pada masyarakat, namun juga berlaku pada penguasa atau pemerintah. Penguasa atau pemerintah haruslah menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat untuk mengelola dan menjalankan negara dengan ketaatan pada hukum yang berlaku. Ketaatan dan kepatuhan pada hukum oleh penguasa atau pemerintah dalam menjalankan negara menjadi sangat penting. Karena tanpa adanya suatu pembatasan oleh hukum, maka akan muncul potensi penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Lord Acton mengungkapkan bahwasanya kekuasaan atau power pada hakikatnya memang memiliki tendensi yang kuat untuk disalahgunakan atau corrupt, terutama kekuatan yang absolut tentu lebih besar tendensinya oleh disalahgunakan. Berangkat dari sinilah urgensi pembatasan kewenangan penguasa melalui hukum sangat dibutuhkan.

Sebagaimana yang sudah disampaikan di awal, Indonesia adalah negara yang menjadikan hukum sebagai alat untuk membatasi kewenangan dari penguasa atau pemerintah. Meskipun konstitusi sudah mengatur dengan jelas mengenai pembatasan ini, penyalahgunaan kewenagan oleh pejabat atau penguasa tetap saja terjadi. Tahun 2013 menjadi saksi bahwasanya penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa di Indonesia sudah menjadi sebuah penyakit yang menggerogoti setiap aspek pemerintahan. Kita dapat melihat korupsi simulator SIM yang melibatkan salah seorang perwira tinggi POLRI, kemudian korupsi proyek olahraga Hambalang yang melibatkan seorang menteri. Dan yang paling mengejutkan tentu saja adalah dugaan suap yang diterima oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi untuk memenangkan pihak tertentu dalam kasus sengketa Pemilu Kepala Daerah.

Realitas ini mungkin telah menjadi permasalahan klise yang terus menerus menimpa Indonesia dan jelas merupakan sebuah pengkhianatan atas jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hukum. Untuk mengatasi permasalahan ini jelas dibutuhkan suatu upaya represif oleh penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keberadaan KPK memang dikhususkan sebagai lembaga untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Apabila kita menilik kembali sepak terjang KPK dalam pengentasan kasus-kasus korupsi pada 2013, mungkin sedikit banyak kita bisa menaruh harapan akan terwujudnya Indonesia yang terbebas dari korupsi. Setiap pejabat dari golongan apa pun tanpa pandang bulu jika terbukti terlibat dijadikan tersangka oleh KPK. Mulai dari Menteri, anggota DPR, Polisi, Jaksa dan Hakim, semua jenis jabatan sudah pernah diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sehingga, tidak salah pada awal 2014 ini segenap rakyat Indonesia menaruh harapan besar pada KPK agar mampu mengungkap dan menyelesaikan kasus-kasus korupsi lainnya. Tercatat masih banyak kasus-kasus besar yang belum atau masih sedang diupayakan oleh KPK pengusutaannya seperti kasus Hambalang,  Bail Out Bank Century, Korupsi Wisma Atlet dan kasus-kasus lainnya yang secara signifikan merugikan keuangan negara. Tentunya pada 2014 ini publik menanti dan menunggu gebrakan serta kinerja KPK dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi tersebut.

Pada akhirnya marilah bersama-sama kita sebagai warga masyarakat untuk terus mengawal dan mendukung kinerja KPK dalam upayanya memberantas korupsi. Agar kelak jati diri Indonesia sebagai negara hukum dan seluruh warga negaranya hidup dengan penuh ketaatan pada hukum dapat bersama-sama kita wujudkan.

Langkah mundur melawan korupsi

KETIKA korupsi semakin ganas menggerogoti semua segi kehidupan di negeri ini, penegak hukum semestinya semakin gigih memeranginya. Celakanya, masih saja ada penegak hukum yang justru lunglai atau bahkan melemahkan diri dalam memberangus korupsi.

Itulah yang tanpa tedeng aling-aling dipertontonkan oleh Kejaksaan Agung. Menurut Indonesia Corruption Watch, Jaksa Agung telah mengeluarkan surat edaran bernomor B-113/F/Fd.1/05/2010 kepada seluruh kejaksaan tinggi yang isinya berseberangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Melalui surat itu, korps Adhyaksa diimbau agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti. JAM-Pidsus Kejagung Agung Widyo Pramono tidak membantah ataupun mengakui adanya surat itu.

Akibat surat itu pula, setidaknya ada 13 kasus dugaan korupsi di daerah dihentikan di tengah jalan. Harus kita katakan, kebijakan Kejagung amat sulit dipahami oleh akal waras. Sulit lantaran dari sudut mana pun, kebijakan itu kontradiktif dengan pemberantasan korupsi.

Dari sudut hukum, misalnya, ia berseberangan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dengan tegas menggariskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak bisa menghapus pidana seseorang. Pendekatan restorative justice alias penyelesaian secara damai di luar pengadilan jelas tidak tepat jika diterapkan dalam kasus korupsi.

Sulit disangkal kebijakan tersebut ialah bentuk kompromi terhadap korupsi. Ia seakan dorongan bagi para pejabat untuk tidak perlu takut menilap uang rakyat. Toh kalau ketahuan, mereka cukup mengembalikan lagi uang itu dan semuanya beres.

Kebijakan itu juga membuka ruang bagi para jaksa untuk menyelewengkan wewenang. Ia menjadi arena baru bagi mereka untuk 'bermain' dengan tersangka kasus korupsi. Apalagi, kebijakan Kejagung tidak secara tegas menyebutkan sekecil apa nilai korupsi yang bisa diputihkan.

Kalau memang kerugian negara yang kecil dijadikan patokan penerapan kebijakan, kenapa pula kasus dugaan korupsi APBD Kudus sebesar Rp18,6 miliar yang ditangani Kejari Kudus pada 2013 juga dihentikan? Berapa pun jumlah uang yang dirampas, korupsi adalah korupsi. Ia tetap bagian dari musuh besar rakyat yang harus dibabat habis.

Kita tadinya berharap, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk pada 2004 sebagai jawaban atas buruknya kredibilitas kejaksaan dan kepolisian, kejaksaan terpacu untuk merias diri. Kita awalnya berharap, ketika KPK terus menunjukkan kegigihan, harga diri kejaksaan terusik lalu bangkit bersama-sama berperang total melawan koruptor.

Namun, harapan itu masih saja jauh dari kenyataan. Dengan kebijakan yang bersifat kompromistis terhadap korupsi, wajah kejaksaan tetap buruk, bahkan semakin buruk.

Kita sepakat, korupsi adalah musuh nomor satu yang siap membawa bangsa ini ke jurang kehancuran sehingga wajib dilawan dengan segenap kekuatan. Ibarat adu lari, penegak hukum yang berdiri dari barisan terdepan pun mutlak mengambil langkah cepat agar tak dipecundangi koruptor. Sayangnya, kejaksaan malah mengambil langkah mundur.

Damianus Yordan Total Berjuang untuk Mengembangkan Tinju Nasional


Damianus Yordan Total Berjuang untuk Mengembangkan Tinju NasionalMantan petinju nasional, Damianus Yordan, yang telah membawa Daud Yordan menjadi juara dunia Kelas Ringan versi IBO, mengaku masih ingin terus menciptakan juara dunia baru di dunia tinju.

"Saya tidak ingin berhenti hanya sampai Daud Yordan, tujuan saya ingin terus menciptakan juara dunia baru. Saat ini masih ada banyak petinju pelapis Daud Yordan yang berpeluang untuk bisa menjadi juara dunia," ujar Damianus Yordan.
Di sasana tinju milik Damianus Yordan di Kayong Utara, sudah ada tiga juara tinju nasional yang akan menjadi generasi baru tinju nasional. Mereka adalah Johanes Yordan yang merupakan juara nasional kelas 61 kilogram. Kemudian ada Ki Chang Kim juara nasional KTPI, dan Agus Setiawan juara nasional kelas bulu.
"Saat ini Kalimantan Barat menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang masih memiliki juara tinju dunia. cabang Olahraga tinju adalah cabang olahraga unggulan kalimantan Barat," ujar Damianus Yordan.
Selain berjuang mengemabngkan tinju melalui sasana tinju Damianus Yordan juga berusaha untuk memperjuangkan kelestarian tinju nasional melalui jalur politik. mantan PNS di kayong Utara itu kini memilih terjun ke dunia politik dan menjadi Caleg dari partai Nasdem.
Daminaus Yordan yang sudah 13 tahun bekerja sebagai PNS memilih untuk meninggalkan pekerjaannya sejak April 2013 lalu dan total membina tinju. Selain melatih atlet senior dia juga melatih atlet-atlet belia dan yunior.
"Dengan terjun ke dunia politik dan menjadi caleg saya ingin memperjuangkan hak-hak olahragawan terutama atlet tinju yang masih kurang perhatiannya," ujar Damianus yang pernah bekerja di Dinas Pemuda dan Olahraga kabupaten Ketapang.

Politisasi Olahraga Penyebab Prestasi Indonesia Menurun


Politisasi Olahraga Penyebab Prestasi Indonesia MenurunMantan pebulutangkis nasional, Icuk Sugiarto, mengatakan penurunan prestasi olahraga yang dialami Indonesia disebabkan karena adanya politisasi di bidang olahraga. Menurut juara dunia tahun 1983 itu, banyak tokoh nasional dan penguasa memanfaatkan olahraga untuk kepentingan golongan.

"Membangun prestasi olahraga di Indonesia seperti membangun rumah di padang pasir. Indonesia mengalami era politisasi olahraga," tutur Icuk dalam acara diskusi panel yang digelar SIWO dan PWI pusat dengan tajuk evaluasi hasil sea games 2013 di Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2014).
"Mantan atlet dan orang yang ahli di bidang olahraga tergusur orang yang pintar bicara. Semua melakukan sesuatu sedikit minta diekspos seolah-olah dia pahlawan. Cabor olahraga diisi orang-orang baru, yang mengedepankan uang dan kekuasaan," tuturnya.
Karena itu ayah kandung pebulutangkis Tommy Sugiarto itu meminta agar politisasi di bidang olahraga segera dihentikan. Apabila ini terus berlanjut, kata Icuk, bukan tidak mungkin olahraga Indonesia kesulitan meraih prestasi.
"Hentikan politisasi olahraga. Semua berpikir untuk merah putih, maka olahraga akan maju. Berikan kesempatan kepada praktisi, mereka punya kualitas dan tahu mau dibawa kemana olahraga," katanya.

Bencana di indonesia karena "Eksploitasi Sumber Daya Alam(SDA)"


Bencana yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia dinilai karena eksploitasi sumber daya alam (SDA). Eksploitasi alam yang dilakukan selama bertahun-tahun tanpa memikirkan keseimbangan ekosistem telah membuat alam Indonesia menjadi rentan terhadap bencana.

Aktivis lingkungan hidup, Chalid Muhammad, menjelaskan bahwa eksploitasi alam sudah terjadi sejak zaman Presiden Soekarno dulu. Namun, menurut dia, eksploitasi alam menjadi semakin parah pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"SBY pernah menitikkan air mata pada saat memberikan lahan sebesar 2 hektar secara historis kepada petani. Tapi air mata itu patut diragukan. Pasalnya, kita harus hitung berapa juta hektar tanah yang diberikan kepada pengusaha," kata Chalid dalam diskusi di Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta, Selasa (28/1/2014).
Chalid menjelaskan, menurut data yang didapatkannya dari Sawit Watch, hingga Juni 2010, pemerintah SBY telah memberikan 9,4 juta hektar tanah kepada 30 grup yang mengontrol 600 perusahaan. Luas itu setara dengan tanah yang dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin, jika setiap petani memiliki tanah seluas 1 hektar.
Dari data itu saja, menurutnya, pemerintahan SBY telah melakukan pembiaran terhadap eksploitasi alam yang dilakukan oleh pihak swasta. Belum lagi, eksploitasi alam di sektor lainnya, seperti pengerukan minyak dan gas bumi di berbagai daerah.
"Makanya tidak heran kalau bencana di Indonesia terjadi terus-menerus. Alam tidak bisa lagi bertahan dengan eksploitasi yang dilakukan. Begitu hujan sedikit, langsung banjir. Begitu kemarau, langsung kebakaran," lanjut Chalid.
Ironisnya, tambah dia, pengerukan alam secara besar-besaran itu tidak juga berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Daerah-daerah yang menjadi target eksploitasi justru menjadi daerah yang miskin dan sulit berkembang secara ekonomi.
"Namun, hal ini juga tidak berdampak pada kesejahteraan, tetapi malah kemiskinan. Kita lihat Papua yang dikuasai Freeport, tetapi angka tertinggi kemiskinan ada di Gunung Tengah Papua. Begitupun dengan Kalimantan, di Kutai Kartanegara itu, kemiskinan sangat tinggi, padahal jadi lokasi pengerukan migas," pungkasnya.

137 Tewas Sejak Awal Januari Akibat Bencana di Indonesia