INDONESIA adalah negara yang menasbihkan dirinya
sebagai negara hukum. Hal ini termaktub jelas dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Konsekuensi logis dari
pilihan bangsa Indonesia untuk menjadikan hukum sebagai landasan dalam
bernegara adalah setiap tingkah laku yang dilakukan oleh setiap orang di
negara ini haruslah taat dan patuh pada hukum yang berlaku.
Konsekuensi dari Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum tidak
hanya berlaku pada masyarakat, namun juga berlaku pada penguasa atau
pemerintah. Penguasa atau pemerintah haruslah menjalankan amanah yang
diberikan oleh rakyat untuk mengelola dan menjalankan negara dengan
ketaatan pada hukum yang berlaku. Ketaatan dan kepatuhan pada hukum oleh
penguasa atau pemerintah dalam menjalankan negara menjadi sangat
penting. Karena tanpa adanya suatu pembatasan oleh hukum, maka akan
muncul potensi penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Lord Acton mengungkapkan bahwasanya kekuasaan atau power pada hakikatnya memang memiliki tendensi yang kuat untuk disalahgunakan atau corrupt,
terutama kekuatan yang absolut tentu lebih besar tendensinya oleh
disalahgunakan. Berangkat dari sinilah urgensi pembatasan kewenangan
penguasa melalui hukum sangat dibutuhkan.
Sebagaimana yang sudah disampaikan di awal, Indonesia adalah negara yang
menjadikan hukum sebagai alat untuk membatasi kewenangan dari penguasa
atau pemerintah. Meskipun konstitusi sudah mengatur dengan jelas
mengenai pembatasan ini, penyalahgunaan kewenagan oleh pejabat atau
penguasa tetap saja terjadi. Tahun 2013 menjadi saksi bahwasanya
penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa di Indonesia sudah menjadi
sebuah penyakit yang menggerogoti setiap aspek pemerintahan. Kita dapat
melihat korupsi simulator SIM yang melibatkan salah seorang perwira
tinggi POLRI, kemudian korupsi proyek olahraga Hambalang yang melibatkan
seorang menteri. Dan yang paling mengejutkan tentu saja adalah dugaan
suap yang diterima oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi untuk
memenangkan pihak tertentu dalam kasus sengketa Pemilu Kepala Daerah.
Realitas ini mungkin telah menjadi permasalahan klise yang terus menerus
menimpa Indonesia dan jelas merupakan sebuah pengkhianatan atas jati
diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hukum. Untuk
mengatasi permasalahan ini jelas dibutuhkan suatu upaya represif oleh
penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Keberadaan KPK memang dikhususkan sebagai lembaga untuk
memberantas tindak pidana korupsi.
Apabila kita menilik kembali sepak terjang KPK dalam pengentasan
kasus-kasus korupsi pada 2013, mungkin sedikit banyak kita bisa menaruh
harapan akan terwujudnya Indonesia yang terbebas dari korupsi. Setiap
pejabat dari golongan apa pun tanpa pandang bulu jika terbukti terlibat
dijadikan tersangka oleh KPK. Mulai dari Menteri, anggota DPR, Polisi,
Jaksa dan Hakim, semua jenis jabatan sudah pernah diseret ke pengadilan
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sehingga, tidak salah pada awal 2014 ini segenap rakyat Indonesia
menaruh harapan besar pada KPK agar mampu mengungkap dan menyelesaikan
kasus-kasus korupsi lainnya. Tercatat masih banyak kasus-kasus besar
yang belum atau masih sedang diupayakan oleh KPK pengusutaannya seperti
kasus Hambalang, Bail Out Bank Century, Korupsi Wisma Atlet
dan kasus-kasus lainnya yang secara signifikan merugikan keuangan
negara. Tentunya pada 2014 ini publik menanti dan menunggu gebrakan
serta kinerja KPK dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi tersebut.
Pada akhirnya marilah bersama-sama kita sebagai warga masyarakat untuk
terus mengawal dan mendukung kinerja KPK dalam upayanya memberantas
korupsi. Agar kelak jati diri Indonesia sebagai negara hukum dan seluruh
warga negaranya hidup dengan penuh ketaatan pada hukum dapat
bersama-sama kita wujudkan.
Sabtu, 01 Februari 2014
Agenda Besar Pemberantasan Korupsi di Tahun 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar