Itulah
yang tanpa tedeng aling-aling dipertontonkan oleh Kejaksaan Agung.
Menurut Indonesia Corruption Watch, Jaksa Agung telah mengeluarkan surat
edaran bernomor B-113/F/Fd.1/05/2010 kepada seluruh kejaksaan tinggi
yang isinya berseberangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Melalui
surat itu, korps Adhyaksa diimbau agar dalam kasus dugaan korupsi,
masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian
keuangan negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak
ditindaklanjuti. JAM-Pidsus Kejagung Agung Widyo Pramono tidak membantah
ataupun mengakui adanya surat itu.
Akibat
surat itu pula, setidaknya ada 13 kasus dugaan korupsi di daerah
dihentikan di tengah jalan. Harus kita katakan, kebijakan Kejagung amat
sulit dipahami oleh akal waras. Sulit lantaran dari sudut mana pun,
kebijakan itu kontradiktif dengan pemberantasan korupsi.
Dari
sudut hukum, misalnya, ia berseberangan dengan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dengan tegas menggariskan bahwa
pengembalian kerugian negara tidak bisa menghapus pidana seseorang.
Pendekatan restorative justice alias penyelesaian secara damai di luar pengadilan jelas tidak tepat jika diterapkan dalam kasus korupsi.
Sulit
disangkal kebijakan tersebut ialah bentuk kompromi terhadap korupsi. Ia
seakan dorongan bagi para pejabat untuk tidak perlu takut menilap uang
rakyat. Toh kalau ketahuan, mereka cukup mengembalikan lagi uang itu dan
semuanya beres.
Kebijakan
itu juga membuka ruang bagi para jaksa untuk menyelewengkan wewenang.
Ia menjadi arena baru bagi mereka untuk 'bermain' dengan tersangka kasus
korupsi. Apalagi, kebijakan Kejagung tidak secara tegas menyebutkan
sekecil apa nilai korupsi yang bisa diputihkan.
Kalau
memang kerugian negara yang kecil dijadikan patokan penerapan
kebijakan, kenapa pula kasus dugaan korupsi APBD Kudus sebesar Rp18,6
miliar yang ditangani Kejari Kudus pada 2013 juga dihentikan? Berapa pun
jumlah uang yang dirampas, korupsi adalah korupsi. Ia tetap bagian dari
musuh besar rakyat yang harus dibabat habis.
Kita
tadinya berharap, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk pada
2004 sebagai jawaban atas buruknya kredibilitas kejaksaan dan
kepolisian, kejaksaan terpacu untuk merias diri. Kita awalnya berharap,
ketika KPK terus menunjukkan kegigihan, harga diri kejaksaan terusik
lalu bangkit bersama-sama berperang total melawan koruptor.
Namun,
harapan itu masih saja jauh dari kenyataan. Dengan kebijakan yang
bersifat kompromistis terhadap korupsi, wajah kejaksaan tetap buruk,
bahkan semakin buruk.
Kita sepakat, korupsi adalah musuh nomor satu yang siap membawa bangsa ini ke jurang kehancuran sehingga wajib dilawan dengan segenap kekuatan. Ibarat adu lari, penegak hukum yang berdiri dari barisan terdepan pun mutlak mengambil langkah cepat agar tak dipecundangi koruptor. Sayangnya, kejaksaan malah mengambil langkah mundur.
0 komentar:
Posting Komentar