Sabtu, 01 Februari 2014

Langkah mundur melawan korupsi

KETIKA korupsi semakin ganas menggerogoti semua segi kehidupan di negeri ini, penegak hukum semestinya semakin gigih memeranginya. Celakanya, masih saja ada penegak hukum yang justru lunglai atau bahkan melemahkan diri dalam memberangus korupsi.

Itulah yang tanpa tedeng aling-aling dipertontonkan oleh Kejaksaan Agung. Menurut Indonesia Corruption Watch, Jaksa Agung telah mengeluarkan surat edaran bernomor B-113/F/Fd.1/05/2010 kepada seluruh kejaksaan tinggi yang isinya berseberangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Melalui surat itu, korps Adhyaksa diimbau agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti. JAM-Pidsus Kejagung Agung Widyo Pramono tidak membantah ataupun mengakui adanya surat itu.

Akibat surat itu pula, setidaknya ada 13 kasus dugaan korupsi di daerah dihentikan di tengah jalan. Harus kita katakan, kebijakan Kejagung amat sulit dipahami oleh akal waras. Sulit lantaran dari sudut mana pun, kebijakan itu kontradiktif dengan pemberantasan korupsi.

Dari sudut hukum, misalnya, ia berseberangan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dengan tegas menggariskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak bisa menghapus pidana seseorang. Pendekatan restorative justice alias penyelesaian secara damai di luar pengadilan jelas tidak tepat jika diterapkan dalam kasus korupsi.

Sulit disangkal kebijakan tersebut ialah bentuk kompromi terhadap korupsi. Ia seakan dorongan bagi para pejabat untuk tidak perlu takut menilap uang rakyat. Toh kalau ketahuan, mereka cukup mengembalikan lagi uang itu dan semuanya beres.

Kebijakan itu juga membuka ruang bagi para jaksa untuk menyelewengkan wewenang. Ia menjadi arena baru bagi mereka untuk 'bermain' dengan tersangka kasus korupsi. Apalagi, kebijakan Kejagung tidak secara tegas menyebutkan sekecil apa nilai korupsi yang bisa diputihkan.

Kalau memang kerugian negara yang kecil dijadikan patokan penerapan kebijakan, kenapa pula kasus dugaan korupsi APBD Kudus sebesar Rp18,6 miliar yang ditangani Kejari Kudus pada 2013 juga dihentikan? Berapa pun jumlah uang yang dirampas, korupsi adalah korupsi. Ia tetap bagian dari musuh besar rakyat yang harus dibabat habis.

Kita tadinya berharap, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk pada 2004 sebagai jawaban atas buruknya kredibilitas kejaksaan dan kepolisian, kejaksaan terpacu untuk merias diri. Kita awalnya berharap, ketika KPK terus menunjukkan kegigihan, harga diri kejaksaan terusik lalu bangkit bersama-sama berperang total melawan koruptor.

Namun, harapan itu masih saja jauh dari kenyataan. Dengan kebijakan yang bersifat kompromistis terhadap korupsi, wajah kejaksaan tetap buruk, bahkan semakin buruk.

Kita sepakat, korupsi adalah musuh nomor satu yang siap membawa bangsa ini ke jurang kehancuran sehingga wajib dilawan dengan segenap kekuatan. Ibarat adu lari, penegak hukum yang berdiri dari barisan terdepan pun mutlak mengambil langkah cepat agar tak dipecundangi koruptor. Sayangnya, kejaksaan malah mengambil langkah mundur.

0 komentar:

Posting Komentar